Koil: Pelajaran Pemberontakan Norma

Oleh Felix Dass.


Sejujurnya, ini merupakan percobaan menulis keempat yang saya lakukan untuk tulisan ini. Biasanya tidak pernah seribet ini untuk menulis tentang sesuatu. Jauh di bawah kesadaran, sepertinya saya punya beban besar untuk menulis tentang hal ini.


Ok, kita akan bicara tentang Koil.


Bicara tentang Koil adalah bicara tentang sejarah. Band ini, kalau dipikir, tidak bagus-bagus amat. Band ini, kalau dipikir juga, tidak lebih dari serangkaian sensasi –yang celakanya, keren—. Band ini, kalau dipikir lebih mendalam, juga banyak bohongnya. Tapi, kalau saya ditanya pendapat saya tentang Koil? Duh, saya cinta mati sama band ini.


Sampai hari ini, saya punya ruang khusus dengan musik Koil –hanya musiknya, jangan terlalu cinta sama bandnya— di dalam diri saya. Ruangan itu khusus, layaknya sebuah ruangan penting di dalam sebuah kastil tua yang kokohnya minta ampun. Ruangan itu selalu perlu untuk dikunjungi secara reguler, berfungsi sebagai ruang untuk berpisah sejenak dengan kenyataan dan menyegarkan diri. Bisa juga untuk mencari inspirasi yang bisa membawa perubahan radikal dalam hidup. Keluar dari ruang itu, pasti ada sesuatu yang menyegarkan.


Awalnya, saya pikir Koil hanyalah band yang bagus. Sudah, sampai di situ. Tapi ketika saya memutuskan untuk membeli kaos pertama mereka yang bertuliskan Koil: Livewire, hubungan saya sudah masuk ke level yang lebih lanjut dengan band ini. Selanjutnya, banyak cerita hidup saya diukir dengan musik yang dihasilkan Koil.


Perkenalan saya dengan Koil dimulai sekitar tiga belas tahun yang lalu. Sepanjang waktu itu, persahabatan saya dengan musik Koil berlangsung dengan sangat sempurna. Kendati selama kurun waktu itu, mereka hanya menghasilkan tiga buah album.


Tahun ini, saya berusia dua puluh lima tahun, usia yang sudah cukup mapan untuk menentukan selera musik dan berbagai macam preference untuk menjalani hidup. Lewat serangkaian pengalaman yang mampi, saya membentuk semuanya itu. Tentu, namanya manusia, pasti akan berubah. Tapi, kalaupun berubah, tidak akan jauh-jauh amat deh.


Ingatan saya lalu menggelinding ke pertengahan 90-an. Waktu itu saya hanya seorang anak SMP yang sudah mulai jatuh cinta pada musik. Di pertengahan 90-an, scene musik lokal Indonesia sangatlah menarik kalau mau dibandingkan dengan keadaan yang kita punya sekarang. Banyak artis bagus muncul dan menyebarluaskan karya mereka.


Di suatu hari sabtu setelah pulang sekolah –dulu, sekolah saya yang terletak di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, pulang lebih awal setiap hari sabtu— saya memutuskan untuk mampir ke toko kaset langganan di Jalan Sabang. Kebetulan dari sekolah dekat, tidak perlu waktu lebih dari sepuluh menit sudah sampai. Biasanya, saya mengunjungi tempat ini dua minggu sekali. Karena saya harus menabung uang saku saya untuk bisa membeli kaset atau cd. Karena afeksi yang berlebihan juga, biasanya sekali beli, saya akan mengambil setidaknya lima album rekaman. Jadi, saya tidak pernah ketinggalan jaman untuk urusan mendapatkan sebuah rekaman lokal baru.


Di hari itu, mata saya bersentuhan langsung dengan sebuah album yang kover dasarnya berwarna hitam dan kuning api. Gambar dasarnya sepertinya sebuah bambu yang dibakar. Album itu bertuliskan kata yang terdiri dari empat huruf; Koil.


Tidak perlu waktu lama bagi saya untuk mengambilnya. Waktu itu kalau tidak salah kaset lokal dibandrol sekitar Rp.8.000,00 atau Rp.10.000,00. Saya tidak tahu pasti apa isi rekaman ini. Yang jelas, ketika saya membuka sleevenya, saya tahu dengan pasti bahwa saya sedang memegang sebuah album bagus. Biasalah, kalau sudah mendengarkan musik dalam kadar yang lebih dari cukup biasanya ada feeling yang bicara. Well, feeling juga bisa salah kok. Kebetulan saja untuk urusan Koil, feeling saya benar.


Sampai hari ini, saya sudah membeli dua atau tiga kaset album yang sama. Kopi terakhir yang saya simpan juga sudah cukup usang. Sudah beberapa tahun terakhir ia tidak bekerja karena memang teknologi yang berubah. Saya menyimpannya di dalam kardus di dalam gudang karena memang tidak punya waktu lagi untuk memutarnya menggunakan tape deck. Toh, versi digitalnya sudah bisa didapat dengan mudah sekarang ini.


Setelah era album itu, band ini sempat merilis sebuah single yang isinya hanya empat lagu, lalu menghilang. Ok, brengsek nomor satu.


Waktu berlalu, dan mereka muncul lagi tahun 2001. Dengan album baru berjudul Megaloblast yang isinya lebih kencang dan mulai dipenuhi sampler. Yang ini lebih gila.


Kesimpulan saya, kalau dipikir-pikir lagi, Koil itu seperti cinta pertama yang brengsek; putus nyambung terus. Kalau ditinggalkan memanggil-manggil terus. Kalau ditunggui, malah menghilang.


Megaloblast adalah inovasi (lagi). Sembilan lagu di dalamnya rasanya berhasil membentuk salah satu orkestra musik yang paling saya sukai sampai hari ini. Dari awal sampai akhir, kualitasnya terjaga. Selain Kesepian Ini Abadi, saya juga suka sekali dengan Bantulah Kami Melihat.


Oh, tapi buat orang banyak, bagian fenomenal album ini adalah video klip Mendekati Surga. Angka penayangan yang luar biasa besar membuat rasanya semua orang pernah tahu ada band yang namanya Koil. Padahal, album mereka tidak didistribusikan dengan luas.


Lalu, mereka menghilang lagi. Ok, brengsek nomor dua.


Koil baru muncul beberapa tahun kemudian. Kali ini dengan album gratis berjudul Black Light Shines On.


Ah, sejujurnya, judulnya agak-agak butut. Tapi sudahlah, isinya mengubah pandangan saya itu. Dari album ini, saya suka sekali Hanya Tinggal Kita Berdua.


Nah, sampai hari ini, Koil masih ada di sekitar. Mereka masih main dari satu kota ke kota lain dan semakin mantap penjelmaannya menjadi unit rock n’ roll yang keren. Kendati demikian, harus siap dan iklas jika mereka menghilang tiba-tiba lagi satu saat nanti.


Di era Black Light Shines On ini, saya berkenalan dengan seseorang bernama Jaka. Jaka adalah penggemar berat Koil yang kadar ‘beratnya’ juga luar biasa tidak sopan.


Beberapa kali, saya dibuat terkagum-kagum oleh orang ini. Bahkan, dia yang tinggal di Bandung, merasa perlu untuk berkunjung ke Kediri menyaksikan Koil main. Dari Bandung ke Kediri tidaklah makan waktu sebentar. Kediri juga bukan kota satu-satunya, sepertinya ia sudah berkeliling ke banyak daerah di Pulau Jawa untuk mengejar Koil bermain.


Bisa jadi, orang-orang di dalam Koil sendiri bingung setengah mati ada penggemar yang sedemikian gilanya. Celakanya, Jaka ini laki-laki. Hahaha.. Yah, terbayanglah bayangan laki-laki yang suka musik rock. Pasti begitulah.


Tapi, Jaka punya ide brilian. Beberapa bulan lalu, dia bercerita bahwa ia sedang menggagas sebuah kompilasi tribute untuk Koil. Lucu juga kalau dipikir, Jaka punya hasrat begitu besar untuk mewujudkan ide ini. Entah bagaimana hubungan musik Koil dengan dirinya.


Balik lagi ke Koil, band ini, kendati dalam beberapa belas tahun itu hanya menghasilkan tiga buah album, tapi kualitas masing-masing albumnya punya kesan yang begitu mendalam untuk mereka yang mengikuti karir band ini. Jadi, penggemarnya pasti sudah banyak.


Dari penggemar yang banyak itu, masa sih tidak ada yang ingin memainkan lagu Koil dengan interpretasi mereka masing-masing? Pasti adalah.


Nah, Jaka berhasil mengumpulkan sejumlah band untuk mewujudkan mimpinya; membuat album kompilasi Tribute to Koil.


Album tribute itu sekarang sedang anda nikmati. Saya dan sekian banyak penggemar Koil di luar sana juga percaya bahwa ini adalah sesuatu yang menyenangkan.


Kami percaya sepenuhnya, kau akan terbakar juga. Ada satu potongan lirik lagu Bantulah Kami Melihat yang selalu saya ingat sampai hari ini, “CCCP pelajaran pemberontakan Norma.” Koil, dengan caranya sendiri, adalah pelajaran pemberontakan norma untuk saya. (pelukislangit)